Pengembangan Kreativitas Anak Dalam Lingkup Sekolah
Senin, 22 Oktober 2012
0
komentar
Kreativitas siswa masih merupakan potensi yang masih harus dikembangkan
baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal (Munandar,
1995). Menurut ahli tersebut, di Indonesia sudah tampak adanya perhatian
terhadap masalah itu, tetapi tampaknya belum cukup memadai. Demikian pula
pelaksanaannya di sekolah-sekolah masih sangat memprihatinkan. Selama ini masih
cukup banyak ditemui hambatan dan kelemahan yang membatasi pertumbuhan dan
perkembangan kreativitas para siswa, misal: kurangnya pengetahuan dan latihan
para guru tentang kreativitas, sistem evaluasi yang terlalu menekankan pada
jawaban benar dan tidak benar tanpa memperhatikan prosesnya. Selain itu ada
beberapa mata pelajaran yang dianaktirikan, yang sebenarnya justru merupakan
mata pelajaran yang penting untuk pengembangan kreativitas. Siswa-siswa sangat
jarang mendapatkan kesempatan untuk berlatih membuat soal-soal atau permasalahan.
Selain guru kurang memberikan dorongan kepada siswa untuk mencoba sesuatu yang
lain, tanpa ada rasa takut untuk berbuat kesalahan. Sesuatu hal yang perlu
diperhatikan adalah agar guru jangan terlalu menekankan pada keberhasilan siswa
dalam mencoba sesuatu yang baru. Tujuan yang lebih penting ialah pembentukan
sifat kreatifnya. Dalam hal ini para siswa perlu dirangsang dan dipupuk minat
dan sikapnya untuk mau melibatkan diri dalam proses kreatif (Torronce, 1972;
Semiawan, 1994).
Adapun menurut para ahli :
·
Learning is most effective when
it’s fun (Peter Kline).
Ciptakanlah
suasana yang menyenangkan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Pecahkan
berbagai kendala belajar yang dialami oleh anak didik. Arahkan mereka untuk
bertumbuh dan berkembang menjadi dirinya sendiri dan tidak muncul. Tampilkan
suasana hati kita sebagai guru yang positif dan raihlah minat siswa. Jangan
mengendalikan anak didik tapi jadilah pengasuh yang baik (ingat bagaimana Anda
belajar secara kuantum ketika bertumbuh dan berkembang secara mengagumkan pada
rentang usia 0 hingga 6 tahun di bawah asuhan orang tua).
·
To learn it, do it
(Robert C. Schank)
Jika belajar hanya dengan
cara mendengarkan maka konten yang dipelajari akan mudah lupa, jika dengan cara
melihat mungkin akan ingat tetapi belum tentu bisa, jika dengan cara melakukan
maka seluruh indera kita bekerja secara aktif sehingga akan lama diingat dan
pasti bisa. Oleh karena itu, lakukanlah kegiatan belajar itu dengan melibatkan
anak secara aktif bukan hanya sekedar fisik tetapi aktif secara
mental-emosional. Ciptakanlah alat peraga yang memungkinkan anak bisa
bereksplorasi dengan melakukan berbagai hal terkait dengan materi yang
diajarkan. Bila perlu dan memungkinkan, bawalah objek sesungguhnya yang
dipelajari ke dalam kelas atau bawalah anak didik ke lingkungan yang relevan
dengan bahan yang dipelajari.
·
Your brain is like a sleeping
giant (Tony Buzan)
Pelajarilah berbagai hasil penelitian mutahir tentang cara kerja otak.
Ubahlah pengetahuan kita tentang itu semua ke dalam tindakan kita saat
membelajarkan anak. Kembangkanlah kemampuan otak anak secara maksimal melalui
pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat
tinggi, seperti berpikir analitis, kritis, dan pemecahan masalah. Jangan
biarkan otak anak didik kita terbaring terus dalam tidur yang panjang, atau
jangan biarkan otak anak bekerja sambil terkantuk-kantuk. Perhatikan agar
kemampuan belahan otak kanan dan kiri anak bisa berkembang secara seimbang.
·
The traditional education system
is Obsolute (Richard L. Measelle)
Dewasa ini kegiatan pembelajaran lebih cenderung bersifat tertutup dan
mutlak. Jika guru bertanya dan siswa menjawab tidak sesuai dengan yang
diharapkan, maka guru akan menyalahkan seolah-olah jawaban yang benar itu
mutlak/tertutup dan tidak ada alternatif jawaban lain. Perlu diingat bahwa: “Anak didik tidak pernah salah dalam menjawab
pertanyaan, mereka menjawab sesuai dengan persepsinya atas pertanyaan tersebut.
Tugas kita adalah mencari pertanyaan yang benar untuk jawaban tersebut.”
Ciptakanlah pembelajaran yang terbuka (divergen)
agar berkembang kemampuan berpikir kreatif anak.
·
Six main pathways to the brain :
we learn by what we see, what we hear, what we taste, what we touch, what we
smell, and what we do (Gordon Dryden)
Kegiatan pengembangan
kretivitasan yang dilakukan guru cenderung lebih banyak menggunakan metode
ceramah sehingga para siswa belajar hanya dengan mengandalkan kemampuan
menyerap informasi melaui pendengaran saja, padahal setiap individu memiliki
gaya belajar yang berbeda sesuai dengan kemampuan belajar yang menonjol pada
dirinya (auditory, visual, dan
bodilykinestetics). Lebih parah lagi, secara umum terjadi ketika kita
melaksanakan kegiatan pembelajaran kretivitas menggunakan metode ceramah, kita
menyampaikan presentasi dan eksplanasi yang cenderung “berbicara kepada siswa” ketimbang “berbicara dengan siswa”. Akibatnya, paling tidak (1) komunikasi
menjadi satu arah, (2) siswa pasif menerima informasi dan terkesan seperti tong
kosong yang siap diisi dengan berbagai informasi yang mungkin saja tidak sesuai
dengan harapannya, (3) pembelajaran kretivitas menjadi teacher center, (4)
potensi intelektual, personal, dan sosial siswa
kurang bertumbuh dan berkembang, (5) kurang memacu keterampilan berpikir
siswa, (6) kecil kemungkinan terjadi self-discovery
learning, dan (7) kepercayaan
diri siswa melemah. Semua itu menyebabkan hasil belajar yang dicapainya tidak
maksimal. Oleh karena itu, ciptakan suasana pembelajaran kretivitas yang
memungkinkan semua kemampuan belajar siswa berkembang.
·
An idea is a new combination of
old elements (Gordon Dryden)
Guru seringkali memaksakan konsep atau materi baru
yang diajarkan tanpa mempertimbangkan pengetahuan yang telah dimiliki anak.
Padahal manusia belajar dan membangun pengatahuannya atas dasar pengetahuan
yang sudah dimilikinya. Lakukanlah pembelajaran dimulai dari apa yang sudah
diketahui siswa.Baca Selengkapnya ....